- Back to Home »
- Kita (Mahasiswa IPB), Harusnya Berkaca...
Info dari salah seorang mahasiswa IPB di sebuah grup whatsapp (30/6)
Kejadian perampokan/kemalingan/musibah selama dua minggu ini:
1. rencana perampokan di musola alfath, gagal karena korban melawan ketika disekap namun tangan kesabet pisau.
2. wisma dinar, jendela kamar dijebol, tapi calon rampok kabur ketika melihat pemilik kamar sedang sholat tarawih. Disini terbukti keutamaan perempuan sholat di rumah.
3. wisma biru, kemalingan hp dan laptop.
4. musola agh, kemalingan hp dan laptop.
5. kosan di balebak, kamar kebakaran akibat arus pendek dari terminal yang tidak dicabut.
6. balio, kerampokan 3 laptop saat malam jam 11.
7. balebak, perampok ngetuk pintu dan nyodorin golok ke kepala korban kemudian berhasil bawa laptop dan hp.
8. perampok yg sama dengan nomor 1 berhasil maling laptop di FKH.
9. wisma flora pangkot kemalingan motor, motor rentalan pula.
10. kosan radar, laptop hilang ketika sepulang sidang.
dan lain-lain yang mungkin tidak tersebar via broadcast.
“Tindak kriminal sekitar IPB sudah sangat meresahkan. Kalau ditengok latar belakangnya, mungkin kesenjangan masyarakatnya makin besar. Apakah karena banyak anak muda yang nongkrong-nongkrong pengganguran kah? Apakah ini termasuk ketidakpedulian kita dengan tetangga kiri kanan kita? Apakah selama ini kita sibuk urus yatim dhuafa pelosok sana sini, tapi ternyata saudara kita yang beberapa puluh meter dari kediaman kita sedang berada kesusahan tapi kita tidak menaruh peduli? Atau ini…. karena apa? Apa ya...”-Dari salah satu grup whatsapp yang membuat saya –dan kita harus benar-benar berkaca.
Mari berpikir dan merenung sejenak. Ini bukan lagi masalah saya, kamu, dia, atau mereka yang jadi korban. Ini jelas masalah kita bersama yang harus mendapat perhatian dan penyelesaian secepatnya.
Kita mulai dari apa saja yang menjadi penyebab kesenjangan, dan apakah memang benar terjadi?
Rentetan kejadian ini dimungkinkan karena saat itu merupakan bulan puasa, bulan dimana mahasiswa yang tinggal di kostan atau kontrakan relatif lebih sedikit. Peluang tidak ketahuan saat melakukan tindak kejahatan semakin besar, saya percaya yang maling bukan orang baik yang nekat kerena adanya kesenjangan sosial. Ini emang momentum yang pas untuk maling dan pelaku tindak kriminal lain. Tapi mungkin juga benar. Karena mahasiswa yang kurang peduli terhadap sekitar kostan dan kontrakannya sendiri, sehingga dihampir setiap kejadian kemalingan tidak terlalu ditanggapi serius oleh warga, hubungan emosional antar warga-mahasiswa nyaris tidak ada.
Di sekitar kampus kini banyak berdiri kost-kostan megah, sedikit banyak ini menunjukkan adanya kesenjangan yang terjadi. Bayangkan, di dekat kontrakan saya dulu (Jl. Lodaya samping Hei’s Futsal), kita masih mendapati keluarga yang tinggal dirumah sepetak dengan penerangan minim. Yang membuat saya bergetar adalah mereka memasak dengan kayu bakar. Keluarga kecil ini juga menjual nasi uduk dan lontong sayur. Masih biasa saja? Tapi coba lihat lebih dalam, ternyata banyak warga sekitar membeli nasi uduk disitu dengan harga seribu rupiah saja. Apakah hal ini cukup menggambarkan kondisi ekonomi warga disana?
Kini saya telah pindah ke Wisma Pajar, masih di daerah yang sama, Babakan Lebak. Pada minggu terakhir UAS semester genap 2014 kemarin, saya ‘jalan-jalan pagi’ untuk sekadar membeli sarapan. Karena itu adalah hari minggu, agak sulit menemukan tempat sarapan yang buka sehingga saya berjalan cukup jauh.
Saat saya membeli sarapan, rupanya banyak warga yang berkumpul untuk melaksanakan kerja bakti lingkungan. Dari alat pengeras suara musholla juga diumumkan dengan cukup jelas, “Perhatian bagi warga RT.XX RW.XX hari ini diadakan kerja bakti lingkungan, kepada warga dan mahasiswa, dinantikan partisipasinya untuk bersama-sama membersihkan saluran air dan got.” Begitu kalimatnya dan diulang beberapa kali. Disini saya merasa sangat bersalah karena sama sekali tidak ambil bagian dalam kerja bakti bersama warga. Dan ternyata, memang tidak ada satupun mahasiswa yang ikut dalam kerja bakti ini (mungkin sudah pada pulang kampung).
Salah seorang rekan saya (Aulia M., Mahasiswi FPIK 49) mendapat tugas survei dari departemen untuk mengetahui 'Tingkat Kenyamanan Warga dengan Keberadaan Mahasiswa'. Tahu hasilnya apa?
Banyak mahasiswa yang sibuk kuliah, mengadakan acara disana sini, tapi jarang melibatkan diri di acara RT/RW begitu pula sebaliknya kita jarang melibatkan warga di acara-acara kita di kampus. Banyak juga mahasiswa yang suka nongkrong-nongkrong tanpa tujuan jelas sampai larut malam yang menurut mereka sangat mengganggu. Parkir sembarangan, sopan santun tidak dijaga. Ketua RT setempat bahkan sampai berucap, “Saya cuma dianggep RT kalo lagi ada kehilangan barang doang.” Miris.
Aulia menambahkan, banyak juga rekan-rekan satu departemennya yang diusir warga ketika hendak melakukan wawancara, alasannya bisa jadi karena warga sudah tidak percaya lagi dengan mahasiswa. Dimata mereka, mahasiswa itu sudah menjadi tukang rusuh, menyapa tetangga kalau punya keperluan tertentu saja (untuk data, survei, kuesioner, dll).
Mereka (warga) menurut saya sudah cukup jengah dengan perilaku sebagian besar mahasiswa (karena saya yakin tidak semuanya) yang hanya menjadi ‘pencuri data’ (datang mengobservasi, lalu kabur membawa data tanpa ada timbal balik atau tindak lanjut). Warga tidak senang dijadikan objek wawancara, atau sekadar jadi data laporan dari tugas-tugas harian mahasiswa tanpa ada timbal balik positif langsung pada mereka.
Salah seorang rekan saya, Haekal (Mahasiswa Fateta 49) juga menambahkan pandangan lain yang kini menjadi kebutuhan dan gaya hidup sebagian besar mahasiswa, media sosial. Tahu alasannya mengapa? Di kostan, begitu kasusnya, mahasiswa jarang keluar kamar karena merasa kebutuhan komunikasi sudah terpenuhi lewat media sosial.
Mungkin kurang bijak jika membandingkan kondisi mahasiswa dulu dan sekarang. Tapi menurut informasi dari warga, pada masa yang lalu jika ada mahasiswa yang lewat depan kerumunan tetangga pasti akan menyapa, kini kita sering mendapati mahasiswa (mungkin termasuk saya) yang lewat didepan tetangga malah pura-pura sibuk dengan gadget.
Sekarang kita dapat poin masalah mengapa interaksi antara mahasiswa dan warga berkurang. Salah satunya akibat kita kurang bijak menyelaraskan dunia maya (media sosial) dengan realita yang ada. Haekal menambahkan, mengapa ia agak kurang bisa ‘ngobrol’ langsung dengan warga? (ini juga masalah sebagian besar kita) karena kita belum bisa menyesuaikan materi obrolan, boleh jadi karena bahasa yang kita gunakan teralu rumit (contohnya adalah bahasa –isasi agar terlihat keren).
Sampai disini, apakah sudah cukup jelas? Atau muncul sebab baru lagi? Apakah salah jika saya bilang semua kejadian yang menimpa kita adalah buah dari ketidakpedulian kita terhadap warga lingkar kampus?
Kawan, ingatkah pada kalimat ini?
“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”--meskipun Tan Malaka mengeluarkan statemen tersebut pada masa pergerakan nasional, sebagai kritik bagi kaum terdidik masa itu yang hanya berpendidikan untuk meningkatkan status sosialnya atau sekadar mempertahankan kedudukan priayi orang tuanya. Padahal pendidikan pada saat itu sangat terbatas. Nah, dalam konteks masa kini? Apa sama?
Bagi kita yang sudah mulai terusik nuraninya dengan kondisi ini, mari kita ambil pusing, kita cari solusi nyata untuk masalah kita ini.
Ada beberapa hal sederhana yang bisa kita lakukan. Kita sering mengadakan kegiatan sosial, tapi coba jujur deh, kalau harus jauh-jauh sementara lingkungan lingkar kampus kita menyedihkan begini, apa yang sebenarnya kita cari? Citra baik? Kenapa tidak kita coba melibatkan warga lingkar kampus? Minimal kita ikut di kegiatan kerja bakti lingkungan, masukan dalam kegiatan rutin perkumpulan kita, kolaborasi dengan warga. Semacam acara cek kesehatan, donor darah, pasti kita bisa melibatkan warga, dan pasti mereka akan senang. Tapi karena kita mengadakannya di dalam kampus, mungkin tidak banyak warga yang bisa ikut.
Dan yang paling sederhana, coba berkenalan dengan warga sekitar, bangun relasi baik dengan mereka (shalat jamaah di masjid bagi yang muslim laki-laki, biasakan tebar salam dan senyum). Dalam bermasyarakat, basa-basi sekadar menawarkan kopi itu penting (kata ayah).
Lebih jauh lagi, kita bisa ikut dalam forum warga yang biasanya diadakan satu bulan sekali (di RW tempat tinggal saya di Jakarta diadakan tiap tanggal 5 pukul 20.00 di balai warga), disitu kita dapat memahami langsung kondisi warga dan jika kita aktif di lingkungan tersebut, saya yakin keluhan yang kita sampaikan akan direspon baik oleh warga. Teman-teman kita banyak yang suka nongkrong di warkop? Kenapa ga kita coba berdayakan untuk mambantu siskamling bersama warga dititik-titik tertentu? (muluk, tapi mungkin).
Sekadar tambahan wawasan, didaerah saya, ada sekelompok orang yang suka mabuk-mabukan, lantas apa pengurus RW tinggal diam? Tidak. Mereka memberikan tugas kepada ‘pemabuk’ tadi, “Kalian boleh mabok disini, tapi pastikan, tidak ada orang lain yang mabok di kampung kita ini, kalau ada yang berani, hajar!” Dan walau terlihat tidak etis, ya, ini efektif. Pada huru-hara Mei 1998, pusat perbelanjaan (Kramat Jati Indah) yang ada disebelah kampung kami aman dari penjarahan, karena warga, preman, dan seluruh elemen masyarakat bersatu untuk melindunginya. Sementara pusat perbelanjaan di kampung sebelah, semua habis tiada sisa.
Ini tulisan tentang kegelisahan saya. Banyak yang ingin saya lakukan namun saya sadar kapasitas saya sebagai seorang mahasiswa yang banyak lupa. Mungkin dengan bersama-sama, kita bisa melakukannya dengan lebih baik, lebih keren dan lebih terasa manfaatnya.
Ingatkah pada tridharma yang mulia? Apa benar kita ‘Mahasiswa’? Atau kita hanya mengaku-ngaku menjadi ‘Mahasiswa’?
Selalu ingat kata seorang guru kami, “Untuk melihat suatu kesalahan, yang kita butuhkan adalah cermin, bukan teropong.”
Semoga rentetan kejadian tidak menyenangkan ini segera berakhir…
Maaf apabila kamu tidak senang membaca tulisan ini. Pasti banyak kesalahan dalam penulisan disana-sini. Maafkan saya yang lancang menuliskan ini semua..
Persembahan Aku untuk Bangsaku!
Mogi Bian Darmawan
Forum Indonesia Muda Regional Bogor
Ditulis di Sukabumi, 1 Juli 2014. Hasil kontemplasi dan percakapan di grup whatsapp BEM TPB IPB 49
[repost dari notes fb]