Tampilkan postingan dengan label pemikiran. Tampilkan semua postingan

aku terdiam menatap layar laptop, menelan ludah. tak kusangka begitu banyak bedebah di muka bumi ini. orang-orang yang begitu lantang berbicara tentang HAM, demokrasi, kesetaraan gender, feminis, atau apalah itu. ketika dihadapkan tentang kondisi Mesir hari ini, mereka diam, bungkam, bahkan ikut ber-hore ditengah krisis yang terjadi di Mesir.

orang-orang yang mengaku liberal, justru mempermasalahkan orang-orang yang bersikap konservatif -menurut mereka sendiri-. tidakkah mereka sadar bahwa mereka telah mengingkari idealisme mereka sendiri? kalaulah mereka benar-benar kaum liberal, tidak usahlah rungsing memermasalahkan urusan orang lain. mereka mendukung demokrasi, ketika Mursi terpilih melalui mekanisme demokrasi, kemudian digulingkan dengan mekanisme paling tidak demokratis, kemana mereka? tidakkah mereka marah? hipokrisi. munafik. apalagi kata yang cocok untuk orang-orang itu?

aku bukan seorang simpatisan atau kader partai manapun. aku hanya seorang mahasiswa biasa yang terus melihat dari sudut pandang lain, meski tidak menyeluruh, tapi mencoba mencari banyak titik sebelum menyimpulkan -dan mungkin masih bisa salah-.

hanya ada satu kesimpulan. tidak ada lagi yang dapat kita percaya, media massa, pemerintah, bahkan LSM. teruslah berdoa agar suatu saat ada seorang superhero yang memiliki kekuatan super dan bisa mengubah dunia dalam sekejap saja. hahaha. suara keputusasaan yang menyedihkan, bukan?

"dunia, 
kini tak lagi muda, 
seisinya 
pun berganti warna. 
kemana kesejukan, 
keindahan dan kedamaian, 
jika KEANGKUHAN 
kian meraja...
mungkin air mata pun 
kelak dijadikan pelepas dahaga..."
Tulisan dari milis sebelah.

Mengapa Bangsa Indonesia Kalah Kreatif Dari Negara-Negara Maju

Sebenarnya ini adalah ringkasan dari buku Prof. Ng Aik Kwang dari University of Queensland yang berjudul "Why Asians Are Less Creative Than Westerners"(Mengapa bangsa Asia kalah kreatif dari negara-negara barat), tapi berhubung saya tinggal di Indonesia dan lebih mengenal Indonesia, maka saya mengganti judulnya, karena saya merasa bahwa bangsa Indonesia memiliki ciri-ciri yang paling mirip seperti yang tertulis dalam buku itu.

1. Bagi kebanyakan orang Indonesia, ukuran sukses dalam hidup adalah banyaknya materi yang dimiliki (rumah, mobil, uang dan harta lain). Passion (rasa cinta terhadap sesuatu) kurang dihargai. Akibatnya, bidang kreatifitas kalah populer oleh profesi dokter, pengacara, dan sejenisnya yang dianggap bisa lebih cepat menjadikan seorang untuk memiliki banyak kekayaan.

2. Bagi orang Indonesia, banyaknya kekayaan yang dimiliki lebih dihargai daripada cara memperoleh kekayaan tersebut. Tidak heran bila lebih banyak orang menyukai ceritera, novel, sinetron atau film yang bertema orang miskin jadi kaya mendadak karena beruntung menemukan harta karun, atau dijadikan istri oleh pangeran dan sejenis itu. Tidak heran pula bila perilaku korupsi pun ditolerir/diterima sebagai sesuatu yang wajar.

3. Bagi orang Indonesia, pendidikan identik dengan hafalan berbasis "kunci jawaban", bukan pada pengertian. Ujian Nasional, tes masuk PT, dll, semua berbasis hafalan. Sampai tingkat sarjana, mahasiswa diharuskan hafal rumus-rumus ilmu pasti dan ilmu hitung lainnya, bukan diarahkan untuk memahami kapan dan bagaimana menggunakan rumus rumus tersebut.

4. Karena berbasis hafalan, murid-murid di sekolah di Indonesia dijejali sebanyak mungkin pelajaran. Mereka dididik menjadi "Jack of all trades, but master of none" (tahu sedikit-sedikit tentang banyak hal tapi tidak menguasai apapun).

5. Karena berbasis hafalan, banyak pelajar Indonesia bisa jadi juara dalam Olympiade Fisika dan Matematika. Tapi hampir tidak pernah ada orang Indonesia yang memenangkan Nobel atau hadiah internasional lainnya yang berbasis inovasi dan kreativitas.

6. Orang Indonesia takut salah dan takut kalah. Akibatnya, sifat eksploratif sebagai upaya memenuhi rasa penasaran dan keberanian untuk mengambil resiko kurang dihargai.

7. Bagi kebanyakan bangsa Indonesia, bertanya artinya bodoh, makanya rasa penasaran tidak mendapat tempat dalam proses pendidikan di sekolah.

8. Karena takut salah dan takut dianggap bodoh, di sekolah atau dalam seminar atau workshop, peserta jarang mau bertanya tetapi setelah sesi berakhir, peserta akan mengerumuni guru/narasumber untuk meminta penjelasan tambahan.

Dalam bukunya, Prof.Ng Aik Kwang menawarkan beberapa solusi sebagai berikut:
1. Hargai proses. Hargailah orang karena pengabdiannya, bukan karena kekayaannya. Percuma bangga naik haji atau membangun mesjid atau pesantren, tapi duitnya dari hasil korupsi

2. Hentikan pendidikan berbasis kunci jawaban. Biarkan murid memahami bidang yang paling disukainya.

3. Jangan jejali murid dengan banyak hafalan, apalagi matematika. Untuk apa diciptakan kalkulator kalau jawaban untuk X x Y harus dihapalkan? Biarkan murid memilih sedikit mata pelajaran tapi benar-benar dikuasainya.

4. Biarkan anak memilih profesi berdasarkan passion (rasa cinta)-nya pada bidang itu, bukan memaksanya mengambil jurusan atau profesi tertentu yang lebih cepat menghasilkan uang.

5. Dasar kreativitas adalah rasa penasaran berani ambil resiko. Ayo bertanya!

6. Guru adalah fasilitator, bukan dewa yang harus tahu segalanya. Mari akui dengan bangga kalau kita tidak tahu!

7. Passion manusia adalah anugerah Tuhan. Sebagai orang tua, kita bertanggungjawab untuk mengarahkan anak kita untuk menemukan passionnya dan mensupportnya.

[sumber asli tidak diketahui]

Tweet to me!

Tahukah kamu?

""

Followers

Featured Posts

Copyright © 2013 Mogi Bian Darmawan | Dark Simple Blogger Template Powered by Blogger | Created by Renadel Dapize | Ori. BRS-bt Djogzs | All Rights Reserved