Minggu, 03 November 2013

20.51

"PING!!!" telepon genggamku berbunyi untuk kesekian kalinya, Deni sedari tadi sibuk nge-ping mengajak pulang bareng.

"Buruan, Gi! udah mau jam 9 nih, nanti kita nggak kedapetan bis!" katanya dalam bbm for android yang baru dia download kemarin sore.

"Iya bawel, nanggung, tinggal ngerapihin daftar pustaka. Tunggu aja di halte depan, 10 menit lagi gue kesana."

Akhir-akhir ini aku sedang sibuk ikut event ini-itu, ngirim paper ke beberapa event luar negeri, berharap bisa jalan-jalan gratis. Tapi sayang si dia juga bikin sibuk pikiran, tiap malam merajuk, bilang kurang perhatian lah, kurang peka lah, kurang ganteng (emang iya-_-) dan kekurangan yang lain. Jengah juga menghadapi sikap dia yang kekanakan, tapi terlanjur sayang, gimana dong?

***

21.13
"Hoy! Jangan bengong di halte! Nanti kesambet, nyusahin gue. Emang kenapa sih, Gi? Pasti gara-gara pacar lo, si Dinda itu bukan? Udah gue bilang, putusin aja. Dalam Islam tuh ga ada yang namanya pacaran, yang ada malah menjerumuskan elu ke maksiat." Kata Deni, menyebalkan. Kerjaannya ceramah mulu. Paling, dia bisa bilang begitu karena dia ga punya cewek aja. Kalo punya, pasti lain lagi bicaranya. Dan kalo aja motorku ga rusak, pasti ga harus naik bus dan dengerin ceramahnya. Tapi yasudahlah *ngelus dada*

"Elu ga akan paham boi, ini urusan pribadi gue." Kataku, protes.

"Nah, itu bis kita bro, buru naik!" Deni menyingkap tasnya. Aku menarik nafas lega, akhirnya ga usah berlama-lama denger ceramahannya Deni. Tapi ternyata bisnya penuh, lirik sana-sini ga ada kursi kosong, kan males juga 40 menit perjalanan harus berdiri. Akhirnya Deni ngasih kode untuk turun, menunggu bis berikutnya.

Kesabaran selalu berbuah manis, 2 menit kemudian datang bis yang lain dengan 2 tempat duduk kosong di kursi panjang paling belakang. 

"Alhamdulillaah!" Kami duduk dikursi belakang, mencari posisi enak untuk relaksasi. Aku mencari headset di tas, menghindari ceramah si Pak Ustadz Deni. Belum kudapatkan headset, bis berhenti. Ada penumpang naik. Ibu-ibu dengan tentengan super besar dan juga seorang anak perempuannya yang tengah merajuk, mungkin kelelahan.

Clingak-clinguk, ibu itu mengusap peluhnya, berharap ada yang berbaik hati memberikan tempat duduk. Tapi ternyata tidak ada yang peduli, semua pura-pura tidur atau pura-pura tidak melihat. Akhirnya aku ngasih kode ke Deni untuk memberi ibu dan anaknya tadi tempat duduk.

Ibu itu berterimakasih sekali pada kami, membuat kami merasa seperti anak muda yang paling gagah perkasa dalam bis itu, hehe.

"Kayaknya memang kita ditakdirkan buat berdiri di bis nih, hahaha." Aku berkata pada Deni, dia ikut tertawa.

"Tapi kita menjemput takdir dengan indah, bro."

Menjemput takdir dengan indah?  Maksudnya?

"Iya, menjemput takdir dengan indah. Kayaknya kita memang sudah di takdirkan buat berdiri di bis malam ini. Bisa aja kita naik bis yang pertama tadi, kan? Sama-sama berdiri. Tapi kita memilih untuk berbuat baik dulu, memberikan tempat duduk ke ibu tadi, akhirnya kita berdiri disini, bukan? Ini sama halnya kayak jodoh..."

Hee? Jodoh? Apa pula hubungannya jodoh sama tempat duduk di bis? Ngaco ini anak.

"Jauh sebelum kita diciptakan, Allaah sudah menetapkan besar rezeki kita, kapan kita mati, siapa jodoh kita. Elu pasti paham lah, Gi."
"Nah, sekarang tinggal gimana cara kita menjemput takdir itu. Jodoh misalnya, mau elu pacarin dulu atau nggak, tetap aja dia bakal jadi jodoh kita kalau sudah tertulis. Sama kayak berdiri di bis, mau duduk atau berdiri, kalau ditakdirkan buat berdiri ya kayak sekarang ini, tapi bedanya, kita udah melakukan kebaikan sebelum kita ditakdirkan berdiri di bis ini, indah bukan?"
"Tinggal sekarang kembali ke diri kita sendiri, mau menjemput jodoh kita dengan cara yang mulia, atau...."

Aku terdiam, kali ini Deni menyampaikan hal begitu masuk akal, hal yang diterima begitu saja oleh hati dan logikaku.
***

22.10
Aku sudah di kamar, baru saja selesai cuci muka dan sedikit merapihkan meja belajar. Seperti biasa, pasti Dinda bakal protes lagi karena aku sama sekali tidak menghubunginya sejak makan siang.

Dinda adalah teman SMA ku dulu, kami sudah mengenal satu sama lain sejak 'dipaksa' bekerja bersama di organisasi SMA. Aku menjadi ketua, dan dia adalah salah satu dari dua sekertarisku. Aku tidak pernah menyangka kalau selama ini dia menyimpan perasaan padaku, sampai suatu ketika aku mengetahuinya lewat cara yang menurutku tidak biasa.  Aku senang dia memiliki perasaan padaku, hei! Bagaimana tidak. Dia seperti pelukis yang memberikan ilustrasi indah atas guratan puisi-puisiku. Kami begitu bahagia, kami saling melengkapi.

Namun kata-kata Deni tadi membuatku tersadar, aku harus mengakhiri kebahagiaan semu ini.

Sebenarnya aku dan Dinda sudah paham bahwa pacaran atau apapun bentuk turunannya bukanlah hal yang baik. Itu salah, jelas salah. Namun, kami sudah terlanjur menyatakan perasaan itu. Menyatakan akan selalu bersama.

***

22.30
Memikirkan segala hal yang mungkin terjadi jika aku menyudahi urusan perasaan ini, akhirnya aku memantapkan hati.
"Malam Dinda, kamu sudah tidur? Maaf lagi-lagi hari ini aku tidak menghubungimu, paperku sudah selesai! Semoga kali ini aku menang, doakan ya..."
*Dinda is writing a message*
Deg! ternyata dia belum tidur.
"Iya Gi, semoga kali ini kamu menang. Kamu sehat kan? Jangan terlalu diforsir aktivitasnya, nanti kalau sakit, siapa yang khawatir? :)"
Nyesss, siapa yang kuat mengakhiri ini semua? Setiap orang pasti bahagia kalau tahu bahwa orang yang dicintainya ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Tapi... Aku harus menguatkan diri, demi menjemput takdir dengan indah. Meski sempat ternoda karena ke-tidak-sabar-an-ku...
"Aku mau bicara sesuatu, Din.."
"Iya? Apa itu? Awas ya kalau ujung-ujungnya gombalan, hehe"
"Hehehe, bukaaan. Kali ini benar-benar akan merubah jalan hidup aku, mungkin juga kamu..."
"I'm listening... eh, reading deng, hehe"
"Biasa deh, okeh, tunggu sebentar ya, aku ingin merangkai kata yang mudah kamu pahami"
"hmm? ok ok :)"
***

22.53
Air mata mengalir begitu saja saat pesan itu kukirim. Aku seperti diperlihatkan kembali segala aktivitas aneh kami. Aneh? Jelas, karena bahkan aku tak pernah menelfonnya, hanya chat atau mencuri-curi pandang saat bertemu. Atau mungkin bertukar buku bacaan. Hanya itu, sebatas itu. Namun aku merasa bahwa aku adalah orang paling bahagia karena memiliki hatinya.

Terakhir, aku menyampaikan pesan ini padanya,
"Dinda, mintalah pada Rabb-mu, Rabb-ku, Rabb kita; pendamping hidup yang terbaik. Jangan pernah sebut namaku, mintalah yang terbaik. Sebab jika memang aku yang ditakdirkan untukmu, pastilah itu yang terbaik dari-Nya untukmu... Malam..."
*Dinda is writing a message*
"Aku nggak tahu bahwa kamu sekuat ini, Gi... Dan aku mungkin tidak sekuat kamu... Thanks for those memories, those were sweet, yet painful :' night..."
Air mata mengalir semakin deras, kepalaku pening, pening sekali. Tapi biarlah, cinta itu pengorbanan, bukan? inilah caraku berkorban untukmu, Dinda. 

Bahkan bagiku, tak perlu lagi berkata, "Dinda, tunggu aku tiga tahun lagi.." Apa perlunya berjanji atas sesuatu yang tak pasti. Tanpa diminta pun bidadari pasti menunggu, dan lelaki pilihan akan datang tanpa diminta.
***

04.15
Aku bangun dari tidur yang amat singkat, adzan subuh sudah memecah keheningan kamarku. Aku berkaca, menatap betapa buruknya wajah laki-laki yang gemar berorasi ini setelah menangis seperti bayi semalaman. Aku tertawa. Namun getir.

Semalam aku melampiaskan semuanya, aku menghapus kontaknya, memblock akun twitternya, dan segala yang berhubungan dengannya. Namun urusan ini tak pernah begitu sederhana, aku hafal mati nomer hpnya, pin nya, dan semuanya.

Aku hanya berharap, waktu mau berbaik hati, mengobati semuanya, dan memberikan janji-janji indah masa depan, entah dengan siapa.
***

Pagi itu di koridor fakultasku, Deni menyapa, entah apa yang merasukinya, ia berkata, "Jangan bersedih kawan, ingatlah sebuah aksioma yang berlaku disini. Jika kamu melakukan hal baik, maka kebaikan itu akan kembali padamu, begitu pula sebaliknya ketika kamu melakukan hal buruk. Jika saat ini kamu sedang sibuk memperbaiki diri, maka pasti dia -jodohmu- sedang melakukan hal yang sama."

Aku memeluknya, kemudian mengacak rambutnya dan kita tertawa bersama, meninggalkan sejenak kerusuhan dalam hati. Aku harus bisa berdamai dengan keadaan, bukan justru melupakannya.

Terimakasih sahabatku, Deni, dan selamat memperbaiki diri untukku, untukmu, Dinda :)


ooo0O0ooo


terinspirasi menulis sejak membaca novel-novel Tere Liye, bukunya Salim A Fillah, juga Felix Y Siauw. jikalau ada kesamaan jalan pemikiran, ya dapetnya dari sana.
kritik dan saran diterima dengan baik, silahkan tinggalkan komentar :D

4 comments

  1. Menarik, sisi lain dari seorang mogi. Selamat mogi, aku melihat ribuan malaikat mendoakanmu (ngayal). Nice share :D. Buka blog pertama langsung t'tarik baca postingan yg paling ats ini. :D

    BalasHapus
  2. memang sisi yang lain dari yang ini seperti apa kak? hehe
    aamiin aamiin, semoga malaikatnya mendoakan kakak juga :D

    BalasHapus
  3. Kak, ijin share ya- ngutip gitu. Bagus ceritanya, entah kenapa sesuai aja sama suasana hati. huehehe. Terima kasih :)

    BalasHapus
  4. Mogi , izin share yaaa.. lumayan buat materi bahan diskusi binaan haha :D

    BalasHapus

Tweet to me!

Tahukah kamu?

""

Followers

Featured Posts

Copyright © 2013 Mogi Bian Darmawan | Dark Simple Blogger Template Powered by Blogger | Created by Renadel Dapize | Ori. BRS-bt Djogzs | All Rights Reserved