Jumat, 22 Mei 2015




Melihat dan membaca kejadian tentang Rohingya membuat saya berusaha terus membaca dan mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi disana. Setelah membaca buku terbitan Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PAHAM Indonesia), saya mendapatkan suatu hal yang lain, sebuah duka yang lain dari Rohingya.


--Perempuan dan Anak : Duka Rohingya yang Lain--

Dalam setiap konflik yang terjadi di negara-negara dunia, perempuan dan anak selalu menjadi korban. Keterbatasan fisik kadang menjadi salah satu kendala sehingga mereka pun tidak dapat menolak penindasan yang sebenarnya tidak dialamatkan kepada mereka. Termasuk pada wanita dan anak-anak Rohingya. Dilihat dari sejarahnya, Rohingya merupakan etnis yang sudah lama menjadi ‘bulan-bulanan’ oleh negaranya sendiri. Negara yang dengan keinginan kuat membersihkan Myanmar dari Rohingya. Atas nama tujuan pembersihan etnis Rohingya, Myanmar memberlakukan beberapa aturan yang mendukung depopulasi etnis Rohingnya.

Sepasang laki-laki dan perempuan Rohingya yang ingin menikah harus mendapatkan izin dari negara yang baru akan dikeluarkan dalam waktu dua tahun. Waktu dua tahun ini bukanlah waktu rigid karena jika ingin mengambil izin tersebut harus membayar dua juta. Jangankan bayar dua juta, untuk hidup layak saja tidak mencukupi sehingga mayoritas dari Rohingya yang ingin menikah akhirnya terpaksa memilih untuk tidak diakui sebagai pasangan yang sah oleh negaranya.

Tentu saja akibatnya anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini tidak menjadi anak yang sah dan artinya tidak ada hak yang akan diperoleh oleh sang anak dikarenakan statusnya yang tidak diketahui. Pada tahun 1994 dikeluarkan aturan yang mendukung pembatasan perkawinan yaitu bagi pasangan Rohingya yang menikah siri akan dihukum dan dipenjara selama tujuh tahun dan perempuan yang hamil dari nikah siri akan dipaksa untuk menggugurkan kandungannya. Jikapun Rohingya mendapatkan izin menikah, masalah belum selesai karena mereka harus taat pada aturan maksimal hanya akan mendapat anak dua orang.

Aturan ini sudah pasti menimbulkan antipati terhadap pemerintah sendiri karena sangat jelas tujuan akhirnya adalah kemusnahan dari etnis Rohingya. Maka, untuk meng-counter usaha depopulation ini, Rohingya berusaha memiliki anak sebanyak-banyaknya. Upaya ini disatu sisi berdampak positif karena akan menghasilkan semangat dan harapan terhadap eksistensi Rohingya, namun disisi lain perencanaan masa depan anak juga sangat dibutuhkan agar keberadaan anak menjadi berkualitas.

Hal yang miris terjadi manakala seorang perempuan Rohingya melahirkan banyak anak namun tidak disertai perencanaan yang baik sehingga banyak anak yang akhirnya terpaksa 'dibuang' ke Bangladesh karena orang tua tidak mampu membiayai maupun menjaga dari ancaman pihak yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, tekanan mental akibat konflik berkepanjangan berakibat pada orang tua yang tidak siap dalam mendidik anak sehingga emosi yang bergejolak di dalam individu orang tua harus dilampiaskan kepada anak, dan sekali lagi, sudah pasti anak yang menjadi korban.

Burma Digest 2005 mengatur bahwa akte kelahiran tidak boleh diberikan kepada muslim. Hal ini tentu saja mengenyahkan kesempatan yang seharusnya dimiliki Rohingya untuk hidup selayaknya manusia yang merdeka.

NRC (National Registration Card) diberikan kepada yang hanya mengaku sebagai Buddhist. Hal ini mengakibatkan tidak sedikit muslim Rohingya yang akhirnya mengaku sebagai Buddhist atau memang secara sadar menggadaikan keislamannya demi kartu kependudukan ini.

Saya membayangkan, monster apa yang akan dibesarkan dalam kondisi seperti itu. Sejak lahir mereka terbiasa menerima kebencian, kondisi tertindas, bahkan orang tua dan keluarganya bisa dibunuh kapan saja, atau sebagian yang beruntung bisa menjadi ‘manusia perahu’, terluntang lantung ditengah laut tanpa pengakuan negara dan berharap ada tempat yang bisa dihuni oleh mereka. Anak-anak Rohingya berhak untuk segera keluar kondisi ini! Kembalikan senyum anak-anak Rohingya!


Mengapa kemudian negara-negara tetangga enggan menerima pengungsi Rohingya? Bagaimana sebenarnya sikap pemerintah Indonesia? Dan yang terpenting, apa yang bisa kita lakukan sebagai manusia untuk etnis yang tidak boleh bersuara ini?

1 comments

Tweet to me!

Tahukah kamu?

""

Followers

Featured Posts

Copyright © 2013 Mogi Bian Darmawan | Dark Simple Blogger Template Powered by Blogger | Created by Renadel Dapize | Ori. BRS-bt Djogzs | All Rights Reserved