- Back to Home »
- Pendakian Perdana, Puncak Gede, dan Alun-Alun Surya Kencana
Rabu, 25 Juni 2014
“Berbagi waktu dengan alam
Kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya
Hakikat manusia….
Akan aku telusuri jalan yang setapak ini
Semoga ku temukan jawaban”
Saya adalah salah satu pengagum ketegaran gunung. Ia kokoh, terlihat angkuh, tapi tetap teduh. Mungkin ini adalah hasrat kebanyakan laki-laki, jika melihat tantangan, selalu tertantang untuk maju sampai ke puncak.
Selama ini hanya memandangi gunung gede dan pangrango dari kebun di puncak, belum pernah merasakan gunung itu langsung sampai akhirnya tanggal 21 juni 2014 kemarin Allah memberikan kesempatan untuk menjajal ciptaanNya itu.
Bersama rekan-rekan Fakultas Pertanian IPB, diantaranya saya, Fadel, Luhur, Haris, Wisnu, Kistia, Iqbal, Lia, Viktor (fakultas tetangga), dan dikomandoi oleh Bung Ken, kami bersepuluh menjajal Puncak Gede. Pada pendakian kali ini, yang benar-benar newbie adalah saya, Fadel, Wisnu, Haris, Iqbal, dan Kistia. Kami bergerak dari kampus kira-kira pukul 5 sore dan sampai ke Taman Nasioal Cibodas pukul setengah 9 malam, perjalanan tersendat sebab kami berangkat sabtu malam.
Sampai disana, kami singgah di musholla yang disediakan taman nasional. Kami makan, sholat, dan melakukan briefing yang diselingi dengan main remi. Tepat pukul 23.45, kami mulai bergerak untuk menanjak, sebelumnya kami berdoa dan meneriakan jargon, “Fun camp! Mari! Fun camp! Daki! Funcaaamp! Mari! Daki! Yihaaaa!”
Kami mendaki puncak gede dengan jalur cibodas, singkat cerita, ada 3 jalur untuk mencapai puncak yakni jalur cibodas, jalur gunung putri, dan jalur salabintana. Dan menurut Bung Ken, cibodas yang paling asik dan menantang.
Di pintu gerbang masuk basecamp Cibodas pendaki wajib melapor dan menunjukan surat - surat perijinan dan akan dilakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan untuk barang yang dilarang seperti pisau, sabun, odol, dll. Akan diminta oleh petugas, dan pada saat keluar Taman Nasional juga akan dilakukan pemeriksaan kembali.
Awal pendakian dimulai dengan menyusuri jalan setapak berbatu, melintasi kawasan hutan tropis yang lebat. Setelah berjalan sejauh 1,5 km melintasi kawasan hutan yang sangat asri. Saya dan beberapa teman yang baru pertama kali mendaki langsung tergopoh-gopoh. Dalam hati saya berkata pada diri sendiri, “Gini doang lu nyerah?”. Maklum, carrier yang saya bawa cukup besar dan berat, mungkin 25 kg karena tas tanpa isinya saja sudah 3 kg, ditambah ada matras, sleeping bag, 3 botol minum 1,5L, 1 botol pocari 2 L , bahan makanan seperti kentang, beras, minyak goreng, dan bumbu-bumbu lain termasuk pakaian ganti saya.
Setelah mulai dapat beradaptasi, dan terus berjalan kami sampai pada sebuah rawa yang disebut telaga biru dalam ketinggian 1.500 mdpl. Konon, telaga biru warna airnya bisa berubah - ubah di sebabkan oleh ganggang yang tumbuh di dasar danau, kami tidak bisa lihat, sebab malam hari. Dengan melintasi jembatan sepanjang jalur selanjutnya akan sampai pos Rawa Gayang Agung pada ketinggian 1.600 mdpl.
Setelah berjalan di atas jembatan kayu sepanjang kurang lebih 1 km, jalur kembali menapaki jalan berbatu hingga sampai di Pos Panyancangan Kuda. Pos ini berada diketinggian 1.628 mdpl, terdapat bangunan beratap yang dapat dipergunakan untuk berlindung dari hujan dan angin. Di lokasi ini terdapat persimpangan jalur (pertigaan). ke kanan ke arah air terjun Ciberem, sedangkan arah ke puncak ambil jalur lurus. Untuk melanjutkan pendakian pendaki harus balik lagi ke Pos Panyancangan Kuda (pertigaan). Dari pertigaan, jalur pendakian mulai menanjak dan berliku-liku melewati jalan setapak dari batuan yang terjal. Gemuruh air terjun yang berada jauh di bawah terdengar dengan jelas. Lintasan kembali menanjak, jalan setapak berbatu mulai berganti dengan jalan tanah yang lebih alami.
Selanjutnya jalur mulai landai dan bonus-bonus turunan akan mempercepat kita sampai di Pos Pondok Pemandangan (2.150 mdpl). Akhirnya kami sampai di Air panas sekitar pukul 4 subuh yang berupa lereng curam yang sangat berbahaya, yang dialiri air panas dengan suhu yang mencapai 70°C, kami ekstra hati-hati karena sempit dan licin. Disini saya mengalami kejadian seru, saat itu saya berada di barisan paling belakang dan hanya mengandalkan senter yang ada pada korek api (headlamp saya berikan kepada Fadel sebelumnya). Di pertengahan aliran air panas, uap air panas meninggi sehingga kaca mata saya berembun dan saya tidak dapat mengandalkan senter korek tadi. Sehingga saya berteriak ke depan, “Woy! Kacamata gue berembun! Tolong senterin jalan dan tungguin gueee!”. Jujur, saya panik karena memang tebing disebelah kiri sangat curam.
Setelah melewati air panas, kami bergerak terus sampai di Pos Kandang Batu (2.220 mdpl) sekitar pukul 04.20. Disini kami beristirahat, dan salah strategi karena kami istirahat saat suhu benar-benar mencapai titik terendahnya dan kami tidak mendirikan tenda, hanya menggelar matras dan istirahat seadanya. Namun, di pos kandang batu ini saya merasakan keadilan yang diberikan Allah. Karena ditempat sedingin ini ternyata aliran sungainya hangat. Kami shalat subuh di dinginnya pagi. Kemudian sarapan dan disambut oleh tirai cahaya yang menerobos di sela-sela pohon dan menerpa wajah kami yang siap mendaki lebih jauh #eaaa. Tidak jauh dari kandang batu, terdapat mata air yang bisa kita minum langsung atau untuk masak. Kebetulan saya sempat berfoto di mata airnya. Hehe.
Meninggalkan Pos Kandang Batu kita akan melewati sungai yang kadang airnya deras sehingga hati-hati dengan sendal yang dipakai. Selanjutnya kita akan sampai di tanah lapang yang cukup untuk mendirikan beberapa tenda. Mendekati Kandang Badak, kita akan mendengar suara deru air terjun yang cukup menarik di bawah jalur pendakian. Kita bisa memandang ke bawah menyaksikan air terjun tersebut, atau turun ke bawah untuk mandi bila air tidak terlalu dingin. Di sekitar air terjun ini lintasan terjal dan sempit sehingga harus menunggu antrian satu per satu untuk melewatinya. Setelah itu jalur mulai landai dan sedikit menurun hingga Pos Kandang Badak (2.395 mdpl). Bagi pendaki sebaiknya mengisi persediaan airnya di pos Kandang Badak, karena perjalanan berikutnya akan susah memperoleh air. Anehnya, disini banyak yang jualan kopi, popmie, bahkan nasi uduk, hahaha.
Setelah kandang Badak perjalanan menuju puncak sangat menanjak dan melelahkan disamping itu udara sangat dingin sekali. Disini terdapat persimpangan jalan, untuk menuju puncak Gn.Gede ambil arah ke kiri namun jangan salah jalan menuju ke kawah, dan untuk menuju puncak Gn.Pangrango ambil arah kanan. Persiapan fisik, peralatan dan perbekalan harus diperhitungkan, sebaiknya beristirahat di pos ini dan memperhitungkan baik buruknya cuaca. Untuk menuju puncak gunung gede kami menyusuri punggungan yang terjal, di sini terdapat sebuah tempat yang disebut Tanjakan Setan, tempat ini sangat terjal dan dilengkapi dengan tali baja untuk berpegangan. Dari atas tanjakan ini pendaki bisa memandang panorama puncak gunung Pangrango yang sangat indah. Hempasan angin kencang sangat terasa di tempat ini.
Pukul 13.30, kami sampai di Puncak Gede. Puncak gunung gede terlihat memanjang, berbeda dengan puncak gunung pangrango yang runcing sempurna. Kami menikmati pemandangan Kawah Gunung Gede yang sangat indah. di puncak gunung gede ini akan tercium aroma belerang yang kadang kala sangat menyengat hidung. Kawah gede ini terdiri dari Kawah Ratu dan Kawah Wadon. Puncak gunung Gede sangat indah namun perlu hati-hati, kita dapat berdiri dilereng yang sangat curam, memandang ke kawah Gede yang mempesona. Dibawah lereng-lereng puncak ditumbuhi bunga-bunga edelweis yang menggoda untuk dipetik, tapi sebagai kaum intelektual, kami paham bahwa kita harus hidup selaras dengan alam dan pantang sekali bagi kami merusak vegetasi disana. Kami sempat beristirahat dan makan-makan sekaligus berfoto disini. Rasa lelah setelah semalaman mendaki rasanya sirna, terbayar lunas oleh scenery yang disuguhkan oleh puncak gede.
Dari puncak Gede kami turun kebawah menuju alun-alun Surya Kencana, dengan latar belakang gunung Gumuruh. Terdapat mata air yang jernih dan tempat yang sangat luas untuk mendirikan kemah. Disinilah kami mendirikan kemah.
Alun-alun Surya Kencana (2500mdpl) adalah tempat yang sangat eksotis, pagi hari kita dapat menikmati sambutan matahari terbit, sore hari diperlihatkan semburat jingga matahari tenggelam, di sebelah utara adalah Puncak Gede, dan di sebelah selatan ada Gunung Gemuruh. Alun-alun ini sangat luas, kalau saya tidak salah perhitungan, luasnya sekitar 70 kali lapangan sepak bola. Disini terdapat bunga edelweis yang kebetulan sedang mulai bermekaran. Akhirnya saya tahu aroma bunga abadi itu saat masih segar!
Ini baru sepenggal kisah tentang pendakian, masih ada lagi bagian turun gunungnya. Pendakian ini sangat berkesan, dan memang kalimat itu benar,
*foto yang keren-keren ada di kamera iqbal, foto yang disini cuma dari hape saya
Saya adalah salah satu pengagum ketegaran gunung. Ia kokoh, terlihat angkuh, tapi tetap teduh. Mungkin ini adalah hasrat kebanyakan laki-laki, jika melihat tantangan, selalu tertantang untuk maju sampai ke puncak.
Selama ini hanya memandangi gunung gede dan pangrango dari kebun di puncak, belum pernah merasakan gunung itu langsung sampai akhirnya tanggal 21 juni 2014 kemarin Allah memberikan kesempatan untuk menjajal ciptaanNya itu.
Bersama rekan-rekan Fakultas Pertanian IPB, diantaranya saya, Fadel, Luhur, Haris, Wisnu, Kistia, Iqbal, Lia, Viktor (fakultas tetangga), dan dikomandoi oleh Bung Ken, kami bersepuluh menjajal Puncak Gede. Pada pendakian kali ini, yang benar-benar newbie adalah saya, Fadel, Wisnu, Haris, Iqbal, dan Kistia. Kami bergerak dari kampus kira-kira pukul 5 sore dan sampai ke Taman Nasioal Cibodas pukul setengah 9 malam, perjalanan tersendat sebab kami berangkat sabtu malam.
Sampai disana, kami singgah di musholla yang disediakan taman nasional. Kami makan, sholat, dan melakukan briefing yang diselingi dengan main remi. Tepat pukul 23.45, kami mulai bergerak untuk menanjak, sebelumnya kami berdoa dan meneriakan jargon, “Fun camp! Mari! Fun camp! Daki! Funcaaamp! Mari! Daki! Yihaaaa!”
sesaat sebelum berangkat bersama Fadel |
Di pintu gerbang masuk basecamp Cibodas pendaki wajib melapor dan menunjukan surat - surat perijinan dan akan dilakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan untuk barang yang dilarang seperti pisau, sabun, odol, dll. Akan diminta oleh petugas, dan pada saat keluar Taman Nasional juga akan dilakukan pemeriksaan kembali.
Awal pendakian dimulai dengan menyusuri jalan setapak berbatu, melintasi kawasan hutan tropis yang lebat. Setelah berjalan sejauh 1,5 km melintasi kawasan hutan yang sangat asri. Saya dan beberapa teman yang baru pertama kali mendaki langsung tergopoh-gopoh. Dalam hati saya berkata pada diri sendiri, “Gini doang lu nyerah?”. Maklum, carrier yang saya bawa cukup besar dan berat, mungkin 25 kg karena tas tanpa isinya saja sudah 3 kg, ditambah ada matras, sleeping bag, 3 botol minum 1,5L, 1 botol pocari 2 L , bahan makanan seperti kentang, beras, minyak goreng, dan bumbu-bumbu lain termasuk pakaian ganti saya.
Setelah mulai dapat beradaptasi, dan terus berjalan kami sampai pada sebuah rawa yang disebut telaga biru dalam ketinggian 1.500 mdpl. Konon, telaga biru warna airnya bisa berubah - ubah di sebabkan oleh ganggang yang tumbuh di dasar danau, kami tidak bisa lihat, sebab malam hari. Dengan melintasi jembatan sepanjang jalur selanjutnya akan sampai pos Rawa Gayang Agung pada ketinggian 1.600 mdpl.
Setelah berjalan di atas jembatan kayu sepanjang kurang lebih 1 km, jalur kembali menapaki jalan berbatu hingga sampai di Pos Panyancangan Kuda. Pos ini berada diketinggian 1.628 mdpl, terdapat bangunan beratap yang dapat dipergunakan untuk berlindung dari hujan dan angin. Di lokasi ini terdapat persimpangan jalur (pertigaan). ke kanan ke arah air terjun Ciberem, sedangkan arah ke puncak ambil jalur lurus. Untuk melanjutkan pendakian pendaki harus balik lagi ke Pos Panyancangan Kuda (pertigaan). Dari pertigaan, jalur pendakian mulai menanjak dan berliku-liku melewati jalan setapak dari batuan yang terjal. Gemuruh air terjun yang berada jauh di bawah terdengar dengan jelas. Lintasan kembali menanjak, jalan setapak berbatu mulai berganti dengan jalan tanah yang lebih alami.
Selanjutnya jalur mulai landai dan bonus-bonus turunan akan mempercepat kita sampai di Pos Pondok Pemandangan (2.150 mdpl). Akhirnya kami sampai di Air panas sekitar pukul 4 subuh yang berupa lereng curam yang sangat berbahaya, yang dialiri air panas dengan suhu yang mencapai 70°C, kami ekstra hati-hati karena sempit dan licin. Disini saya mengalami kejadian seru, saat itu saya berada di barisan paling belakang dan hanya mengandalkan senter yang ada pada korek api (headlamp saya berikan kepada Fadel sebelumnya). Di pertengahan aliran air panas, uap air panas meninggi sehingga kaca mata saya berembun dan saya tidak dapat mengandalkan senter korek tadi. Sehingga saya berteriak ke depan, “Woy! Kacamata gue berembun! Tolong senterin jalan dan tungguin gueee!”. Jujur, saya panik karena memang tebing disebelah kiri sangat curam.
Setelah melewati air panas, kami bergerak terus sampai di Pos Kandang Batu (2.220 mdpl) sekitar pukul 04.20. Disini kami beristirahat, dan salah strategi karena kami istirahat saat suhu benar-benar mencapai titik terendahnya dan kami tidak mendirikan tenda, hanya menggelar matras dan istirahat seadanya. Namun, di pos kandang batu ini saya merasakan keadilan yang diberikan Allah. Karena ditempat sedingin ini ternyata aliran sungainya hangat. Kami shalat subuh di dinginnya pagi. Kemudian sarapan dan disambut oleh tirai cahaya yang menerobos di sela-sela pohon dan menerpa wajah kami yang siap mendaki lebih jauh #eaaa. Tidak jauh dari kandang batu, terdapat mata air yang bisa kita minum langsung atau untuk masak. Kebetulan saya sempat berfoto di mata airnya. Hehe.
dibalik bening mata air, tak pernah ada air mata~ |
Setelah kandang Badak perjalanan menuju puncak sangat menanjak dan melelahkan disamping itu udara sangat dingin sekali. Disini terdapat persimpangan jalan, untuk menuju puncak Gn.Gede ambil arah ke kiri namun jangan salah jalan menuju ke kawah, dan untuk menuju puncak Gn.Pangrango ambil arah kanan. Persiapan fisik, peralatan dan perbekalan harus diperhitungkan, sebaiknya beristirahat di pos ini dan memperhitungkan baik buruknya cuaca. Untuk menuju puncak gunung gede kami menyusuri punggungan yang terjal, di sini terdapat sebuah tempat yang disebut Tanjakan Setan, tempat ini sangat terjal dan dilengkapi dengan tali baja untuk berpegangan. Dari atas tanjakan ini pendaki bisa memandang panorama puncak gunung Pangrango yang sangat indah. Hempasan angin kencang sangat terasa di tempat ini.
ini di atas kawah ratu, sebelum puncak (sponsored by FIM) |
jalan menuju puncak gede |
ini dia titik 2958mdpl |
carrier saya terlihat ramping tapi beratnyaaaa |
bunga edelweis :3 |
“Jika ingin tahu sifat asli seseorang, pergilah mendaki gunung bersama.”Sampai jumpa pada kisah pendakian selanjutnya, semoga diberi kesempatan dan kekuatan. Aamiin!
“there is no wifi in the mountain, but you will find better connection with your partner.”